Oleh : Salim Abdurrahman
“ Hukum adalah untuk Manusia, Bukan Sebaliknya yaitu Manusia yang Hadir untuk Hukum dan
Hukum Hadir Bukanlah untuk Dirinya” (Satjipto Rahardjo)
Hukum
progresif lahir dari rasa ketidakpuasaan kalangan hukum terhadap teori dan
praktik huku tradisional yang berkembang. Para penganutnya mengkritisi terhadap
begitu besarnya “jurang pemisah” antara hukum yang di praktikkan dengan teori
hukum. Hukum dianggap gagal dalam merespon setiap masalah yang terjadi di
tengah masyarakat. Penganut paham hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum
merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memunginkan masyarakat
memetahankan ketertiban dan kebebasannya. Oleh sebab itu hukum haruslah netral
agar dapat diterapkan kepada siapa saja tanpa memerhatikan perbedaan apapun
untuk menghindari diskriminasi. Namun pada kenyataannya poin penting dari
pemberlakuan hukum dari kacamata tradisional tersebut tidak bisa dilaksanakan
secara konsekuensi. Menurut teoritis postmodern bahwa hukum tidak mempunyai
dasar objektif dan tidak ada kebenaran sebagai tempat untuk berpijak hukum,
yang ada hanya kekuasaan semata yang menjadi alat kekuasaan bagi penguasa.
Kecurigaan
postmodern didasari keyakinan bahwa yang menjadi barometer huku bukanlah salah dan benar, bermoral atau tidak
bermoral saja, melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan
dijalankan oleh kelompok masyarakat mayoritas. Hukum harus ditafsirkan yang
nyatanya akan ditafsirkan menurut keinginan yang menafsirnya, dan penafsir akan
menafsirkan sesuai dengan perasaan dan kepentingan sendiri, sehingga yang
namanya keadilan hanya semboyan dan retorika yang digunakan sekelompok
mayoritas untuk menjelaskan apa apa yang mereka inginkan dan keinginan pihak
minoritas tidak pernah menjadi penafsiran hukum dan akan selalu menjadi
bulan-bulanan hukum.
Untuk itu sudah seharusnya sektor hukum lebih diberdayakan agar pembangunan
masyarakat dan bangsa dapat dilaksanakan atau bahwa dapat dipercepat,
sebagaimana pendapat Roscoe Pond bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana
rekayasa sosial ( law as tool of
development) sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja.
Untuk
menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat kearah
kehidupan yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam
artian kaidah atau pearturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan
dari kaidah hukum dalam praktik hukum, yaitu adanya jaminan penegakan hukum
yang baik.
Sudah sering terdengar pradok-pradok yang ditujukan kepada aparat penegakan
hukum terutama hakim sebagai pemutus suatu perkara, mengenai putusan pembebasan
para koruptor penjarah uang rakyat yang berjumlah banyak, yang dibebaskan oleh
hakim. Tidak jarang pula tuduhan yang menyudutkan aparat penegak hukum yang
dianggap mempersulit orang “kebanyakan” untuk mendapatkan keadilan dalam
persidangan, selain bukti-bukti yag cukup kuat yang dimiliki olehhnya. Masih
banyak lagi persoalan yang menyebabkan semakin terpuruknya hukum saat ini.
Seiring
dengan berkembangnya pemikiran mengenai keadilan subtantif juga perkembangan
hukum progresif (sosiologi hukum tidak terlepas dari rentetan sejarah
perkembangan teori dan sistem hukum yang ada di dunia. Seperti perkembangan
hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didomminasi oleh
alam pemikiran positivistik sehingga menghasilkan doktrin Rule of Law yang bercirikan: (1) Formal rules :Tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan;
(2) Procedures :Dilaksanakan melalui
aturan main yag ketat; (3) Methodologist :Mendewakan
logika dalam penerapannya; (4) Bureaucreacy
:Hanya lembaga-lembaga formal yang diakui memiliki otoritas untuk membuat, melaksanakan dan
mengawasi hukum (legislatif, eksekutif dan yudikatif).
Cara
berhukum yang terfokus kepada teks undang-undang telah menjadi ciri khas dari
sistem hukum modern atau (tekstual apporoach). Akibat cara berhukum
positivistik tersebut maka upaya mewujudkan keadilan yang substantive terancam.
Khususnya bagi pihak yang lemah dan termarginalkan. Sistem hukum modern yang
bersandarkan kepada semangat liberal dan kapitalisme jelas hanya menguntungkan
pihak yang kuat, bagi secara ekonomi maupun politik. Oleh karenanya untuk
terlepas dari belenggu formalism-positivisme
diperlukan cara berhukum baru agar hukum mampu menangkap hakikat dan kebenaran,
keadilan dan kemanusiaan.
Oleh karena itu berkembangnya pemikiran hukum secara progresif adalah tidak
terlepas dari perkembangan mengenai sosiologi hukum. Sosiologi hukum untuk
lebih jelasnya adalah sosiologi dari atau tentang hukum. Oleh karena itu
apabila berbicara denngan perilaku sosial, maka ini berhubungan dengan hukum
yang berlaku. Dengan kata lain sosiologi hukum memperlihatkan verifikasi
empiris dan validitas dari hukum yang berlaku. Dengan demikian teori-teori
dalam sosiologi hukum juga bergerak pada jalur tersebut.
Menurut
Satjipto Rahardjo, sosiologi hukum memiliki basis intelektual dari paham hukum
alam (lex naturalist), itu
sebabnya cairan paham sosiologi hukum adalah untuk menyelesaikan permasalahan
kehidupan manusia dengan lingkungannya. Filosofis dari teori hukum alam
kesatuan dengan kondisi lingkungan. Karena itu, kalangan sosiologi hukum selalu
mengaitkan aturan hukum dengan kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Bahkan terbentuknya sebuah negara berdasarkan teori du contact social yang populerkan oleh J.J Rosseau pun diakui sebagai kajian
sosiologi hukum, bahkan ketika manusia masih dalam kelompok-kelompok kecil
dalam “alam liar”.
Perkembangan
hukum progresif tidak lepas dari perkembangan tatanan hukum sebagaimana yang
dikemukakan oleh Nonet dan Selzink yaitu: pertama, tatanan hukum yang represif,
dimana hukum disubornasikan dibawah tatanan politik dan tatanan ekonomi, yang
kedua, tatanan hukum yag otonom/mandiri, dimana hukum yang berkedudukan setara (koordinatif) dengan tatanan politik,
tatanan ekonomi dan sosiao budaya, sedangkan yang ketiga, tatanan hukum yang
responsif, dimana hukum berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada kebutuhan
sosial dari suatu masyarakat.
Teori yang
Memengaruhi Progresifitas Hukum
Adagium
hukum yang berbunyi “ubi societas ibi
ius” (dimana ada masyarakat disitu ada hukum) adalah sebuah asas yang
mendasar dalam dunia hukum. Asa tersebut menyiratkan bahwa masalah tidak akan
dapat hidup tanpa adanya suatu tatanan atau keteraturan (hukum). Terminologi
hukum tersebut tentu harus dimaknai secara luas, tidak hanya sebuah aturan
tertulis saja (undang-undang), tetapi juga hukum yang telah lahir jauh sebelum
adanya hukum tertulis, ataupun suatu pegangan ataupun nilai-nilai yang
berkembang didalam masyarakat dan telah mengatur suatu tatanan kehidupan suatu
masyarakat itu.
Emmanuel
Kant mendefinisikan makna hukum sebagai keseluruhan kondisi-kondisi dimana
terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi orang lain, sesuai dengan
hukum-hukum tentang kemerdekaan. Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa hukum
dan masyarakat merupakan bangunan yang terus berkembang dan tidak terjebak
kepada bentuk normatif yang mati rasa. Pandangan hukum yang terus perkembangan
sesuai dengan perkembangan masyarakat sesungguhnya telah dimulai oleh penganut
hukum alam, sebagaimana dikatakan oleh satjipto; ”Teori hukum alam selalu menuntun kembali sekalian wacana dan institusi
hukum kepada basisnya yang asli, yaitu dunia manusia dan masyarakat. Kebenaran
hukum tidak dapat dimonopoli atas nama otoritas pembuatnya, seperti pada aliran
positivisme, melainkan kepada asalnya yang otentik. Norma hukum alam, kalau
boleh disebut demikian, berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan cita-cita
keadilan yang wujudnya berubah-ubah dari masa ke masa".
Hukum alam
berupaya menemukan antara hukum yang dikehendaki dengan praktik hukum di
lapangan. Hal itu senada dengan apa yang dikemukakan oleh John Austin yang
memisahkan secara tegas antara hukum positif (Ius Contitutum) dengan hukum yang dicita-citakan (Ius Contiuendum). Itu sebabnya para
penganut positivisme yang memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan
agama berbeda cara pandangnya dengan hukum alam ataupun hukum progresif.
Para
penganut hukum progresif melihat terdapatnya kelemahan hukum yang bertitik
tumpu kepada peraturan perundang-undangan. Kelemahan tersebut juga dikemukakan
oleh Bagir Manan. Menurut Bagir kelemahan-kelemahan tersebut adalah:
(1) Peraturan perundang-undangan tidak flesibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.
(2) Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum.
(1) Peraturan perundang-undangan tidak flesibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.
(2) Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum.
Ketidakmampuan
teks hukum dalam memenuhi kekosongan hukumtersebut akan menyebabkan hukum itu
sendiri jauh dari masyarakat yang diaturnya. Menurut Talcott Parsons yang menuturkan
mengenai teori konflik, ketidaksesuaian itu seolah-olah memperlihatkan sebuah
pemeliharan konflik.
Dalam isu ini konflik yang terus
dikembangkan adalah konflik hukum tertulis dan masyarakat yang diaturnya.
Karakteristik
Hukum Progresif
Kata
progresif berasal dari progressi yang
berarti adalah kemajuan. Jadi disini diharapkan hukum itu hendaknya mampu
mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala
dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandar pada aspek
moralitas dan sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.
Agenda utama
hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralisasi utama
perbincangan tentang hukum. Bagi hukum progresif hukum adalah untuk manusia dan
bukan sebaliknya. Jikalau faktor kemanusiaan yang didalamnya terdapat kebenaran
dan keadilan yang menjadi titik pembahasan hukum, maka faktor etika dan moral
sangat perlu dalam membangun konsep hukum progresif, oleh karena itu etika dan
moral akan berbicara benar dan salah atau baik dan buruk yang melekat pada diri
manusia. Jika seseorang tidak memiliki etika dan moral, maka ia dengan makhluk
lainnya seperti binatang.
Di dalam
hukum progresif terkandung moralitas kemanusiaan yang sangat kuat. Jika etika
atau moral manusia telah luntur, maka penegakan hukum tidak tercapai, sehingga
membangun masyarakat untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia tidak akan
terwujud. Pembangunan pondasi dari kesadaran mental ini adalah perbaikan aklak,
pembinaan moral dan karakter diri masyarakat supaya menjadi masyarakat susila
yang bermoral tinggi, sehingga dapat dibangun masyarakat yang damai sejahtera,
masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan
demikian huku progresif merubah cara berhukum dari sekedar menerapkan hukum
positif secara tekstual menjadi cara berhukum dengan mendayagunakan hukum
dengan tujuan, misi dan dimensi spiritual. Dalam perspektif hukum progresif
maka yang terjadi dalam positivisasi hukum
sebenarnya adalah perduksian makna. Dengan demikian gagasan atau usulan untuk
memformalkan vexatious litigation dalam sebuah produk legislasi sebenarnya
justru membatasi atau mempersempit makna apa yang sesungguhnya benar-benar
merupakan gugatan iseng, yaitu gugatan yang tujuannya hanya semata-mata untuk
mengganggu pihak lawan. Apalagi proses pembuatan peraturan perundang-undangan
cenderung merupakan proses politik dimana banyak muatan kepentingan yang beradu
kekuatan.
Aturan
formal mengenai vexatious litigation (disertai
dengan sanksinya) bila diaplikasikan di lembaga peradilan dimana hakim-hakimnya
juga berpandangan legal positivistik (sekedar
bouche de la loi) dikhawatirkan akan
memberabgus gugatan yang bersubstansi
visi bantuan hukum struktural dalam rangka memperjuangkan hak asasi
manusia, keadilan dan demokrasi.
Bila hakim
harus membuat terobosan untuk membuat penemuan hukum yang tidak lazim dalam
putusannya, yang mengabulkan gugatan eksperimental elemen masyarakat, dimana
terobosan itu dalam konteks visi terwujudnya keadilan substanstif, maka jangan
terburu berprasangka bahwa hakim tersebut sengaja membuat putusan kontroversi
untuk menaikkanpamor.
Hakekat
hukum progresif adalah pergeseran dari sistem formal ke sistem manusia. Jadi vexatious litigation yang benar-benar
bersifat vexing (tidak ada visi
luhurnya) memang tidak boleh dibiarkan menjadi trend dalam budaya peradilan. Namun biarkan peran manusia (hakim)
secara progresif (pengetahuan, keahlian dan logika yang utuh serta ketajaman
nurani) dalamm memberikan makna dibalik sebuah gugatan.
Dengan
demikian karakteristik hukum progresif dapat ditandai dengan pernyataan sebagai
berikut: (1) Hukum ada untuk mengabdi pada manusia
(2) hukum progresif akan tetap hidup karena hukum selalu berada pada statusnnya sebagai law in the making dan tidak pernah bersifat final, sepanjang manusia masih ada, maka hukum progresif akan terus hidup dalam menata kehidupan masyarakat (3) dalam hukum progresif selalu mendekat etika dan moralitas kemanusiaan yang sangat kuat, yang akan memberikan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan manusia serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan dan kepeduliann terhadap manusia pada umumnya.
(2) hukum progresif akan tetap hidup karena hukum selalu berada pada statusnnya sebagai law in the making dan tidak pernah bersifat final, sepanjang manusia masih ada, maka hukum progresif akan terus hidup dalam menata kehidupan masyarakat (3) dalam hukum progresif selalu mendekat etika dan moralitas kemanusiaan yang sangat kuat, yang akan memberikan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan manusia serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan dan kepeduliann terhadap manusia pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar