Sabtu, 31 Agustus 2019

Progresifisme Hukum, Jalan Keluar Dari Kehancuran Hukum Di Indonesia


 
Oleh : Salim Abdurrahman

 Hukum adalah untuk Manusia, Bukan Sebaliknya  yaitu Manusia yang Hadir untuk Hukum dan Hukum Hadir Bukanlah untuk Dirinya” (Satjipto Rahardjo)
Hukum progresif lahir dari rasa ketidakpuasaan kalangan hukum terhadap teori dan praktik huku tradisional yang berkembang. Para penganutnya mengkritisi terhadap begitu besarnya “jurang pemisah” antara hukum yang di praktikkan dengan teori hukum. Hukum dianggap gagal dalam merespon setiap masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Penganut paham hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memunginkan masyarakat memetahankan ketertiban dan kebebasannya. Oleh sebab itu hukum haruslah netral agar dapat diterapkan kepada siapa saja tanpa memerhatikan perbedaan apapun untuk menghindari diskriminasi. Namun pada kenyataannya poin penting dari pemberlakuan hukum dari kacamata tradisional tersebut tidak bisa dilaksanakan secara konsekuensi. Menurut teoritis postmodern bahwa hukum tidak mempunyai dasar objektif dan tidak ada kebenaran sebagai tempat untuk berpijak hukum, yang ada hanya kekuasaan semata yang menjadi alat kekuasaan bagi penguasa.
Kecurigaan postmodern didasari keyakinan bahwa yang menjadi barometer huku bukanlah salah dan benar, bermoral atau tidak bermoral saja, melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok masyarakat mayoritas. Hukum harus ditafsirkan yang nyatanya akan ditafsirkan menurut keinginan yang menafsirnya, dan penafsir akan menafsirkan sesuai dengan perasaan dan kepentingan sendiri, sehingga yang namanya keadilan hanya semboyan dan retorika yang digunakan sekelompok mayoritas untuk menjelaskan apa apa yang mereka inginkan dan keinginan pihak minoritas tidak pernah menjadi penafsiran hukum dan akan selalu menjadi bulan-bulanan hukum. Untuk itu sudah seharusnya sektor hukum lebih diberdayakan agar pembangunan masyarakat dan bangsa dapat dilaksanakan atau bahwa dapat dipercepat, sebagaimana pendapat Roscoe Pond bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial ( law as tool of development) sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja.
Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat kearah kehidupan yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam artian kaidah atau pearturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan dari kaidah hukum dalam praktik hukum, yaitu adanya jaminan penegakan hukum yang baik. Sudah sering terdengar pradok-pradok yang ditujukan kepada aparat penegakan hukum terutama hakim sebagai pemutus suatu perkara, mengenai putusan pembebasan para koruptor penjarah uang rakyat yang berjumlah banyak, yang dibebaskan oleh hakim. Tidak jarang pula tuduhan yang menyudutkan aparat penegak hukum yang dianggap mempersulit orang “kebanyakan” untuk mendapatkan keadilan dalam persidangan, selain bukti-bukti yag cukup kuat yang dimiliki olehhnya. Masih banyak lagi persoalan yang menyebabkan semakin terpuruknya hukum saat ini.
Seiring dengan berkembangnya pemikiran mengenai keadilan subtantif juga perkembangan hukum progresif (sosiologi hukum tidak terlepas dari rentetan sejarah perkembangan teori dan sistem hukum yang ada di dunia. Seperti perkembangan hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didomminasi oleh alam pemikiran positivistik sehingga menghasilkan doktrin Rule of Law yang bercirikan: (1) Formal rules :Tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan; (2) Procedures :Dilaksanakan melalui aturan main yag ketat; (3) Methodologist :Mendewakan logika dalam penerapannya; (4) Bureaucreacy :Hanya lembaga-lembaga formal yang diakui memiliki  otoritas untuk membuat, melaksanakan dan mengawasi hukum (legislatif, eksekutif dan yudikatif).
Cara berhukum yang terfokus kepada teks undang-undang telah menjadi ciri khas dari sistem hukum modern atau  (tekstual apporoach). Akibat cara berhukum positivistik tersebut maka upaya mewujudkan keadilan yang substantive terancam. Khususnya bagi pihak yang lemah dan termarginalkan. Sistem hukum modern yang bersandarkan kepada semangat liberal dan kapitalisme jelas hanya menguntungkan pihak yang kuat, bagi secara ekonomi maupun politik. Oleh karenanya untuk terlepas dari belenggu formalism-positivisme diperlukan cara berhukum baru agar hukum mampu menangkap hakikat dan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Oleh karena itu berkembangnya pemikiran hukum secara progresif adalah tidak terlepas dari perkembangan mengenai sosiologi hukum. Sosiologi hukum untuk lebih jelasnya adalah sosiologi dari atau tentang hukum. Oleh karena itu apabila berbicara denngan perilaku sosial, maka ini berhubungan dengan hukum yang berlaku. Dengan kata lain sosiologi hukum memperlihatkan verifikasi empiris dan validitas dari hukum yang berlaku. Dengan demikian teori-teori dalam sosiologi hukum juga bergerak pada jalur tersebut.
Menurut Satjipto Rahardjo, sosiologi hukum memiliki basis intelektual dari paham hukum alam (lex naturalist), itu sebabnya cairan paham sosiologi hukum adalah untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan manusia dengan lingkungannya. Filosofis dari teori hukum alam kesatuan dengan kondisi lingkungan. Karena itu, kalangan sosiologi hukum selalu mengaitkan aturan hukum dengan kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Bahkan terbentuknya sebuah negara berdasarkan teori du contact social yang populerkan oleh  J.J Rosseau pun diakui sebagai kajian sosiologi hukum, bahkan ketika manusia masih dalam kelompok-kelompok kecil dalam “alam liar”.
Perkembangan hukum progresif tidak lepas dari perkembangan tatanan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Nonet dan Selzink yaitu: pertama, tatanan hukum yang represif, dimana hukum disubornasikan dibawah tatanan politik dan tatanan ekonomi, yang kedua, tatanan hukum yag otonom/mandiri, dimana hukum yang berkedudukan setara (koordinatif) dengan tatanan politik, tatanan ekonomi dan sosiao budaya, sedangkan yang ketiga, tatanan hukum yang responsif, dimana hukum berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada kebutuhan sosial dari suatu masyarakat.
Teori yang Memengaruhi Progresifitas Hukum
Adagium hukum yang berbunyi “ubi societas ibi ius” (dimana ada masyarakat disitu ada hukum) adalah sebuah asas yang mendasar dalam dunia hukum. Asa tersebut menyiratkan bahwa masalah tidak akan dapat hidup tanpa adanya suatu tatanan atau keteraturan (hukum). Terminologi hukum tersebut tentu harus dimaknai secara luas, tidak hanya sebuah aturan tertulis saja (undang-undang), tetapi juga hukum yang telah lahir jauh sebelum adanya hukum tertulis, ataupun suatu pegangan ataupun nilai-nilai yang berkembang didalam masyarakat dan telah mengatur suatu tatanan kehidupan suatu masyarakat itu.
Emmanuel Kant mendefinisikan makna hukum sebagai keseluruhan kondisi-kondisi dimana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi orang lain, sesuai dengan hukum-hukum tentang kemerdekaan. Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa hukum dan masyarakat merupakan bangunan yang terus berkembang dan tidak terjebak kepada bentuk normatif yang mati rasa. Pandangan hukum yang terus perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat sesungguhnya telah dimulai oleh penganut hukum alam, sebagaimana dikatakan oleh satjipto; ”Teori hukum alam selalu menuntun kembali sekalian wacana dan institusi hukum kepada basisnya yang asli, yaitu dunia manusia dan masyarakat. Kebenaran hukum tidak dapat dimonopoli atas nama otoritas pembuatnya, seperti pada aliran positivisme, melainkan kepada asalnya yang otentik. Norma hukum alam, kalau boleh disebut demikian, berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan cita-cita keadilan yang wujudnya berubah-ubah dari masa ke masa".
Hukum alam berupaya menemukan antara hukum yang dikehendaki dengan praktik hukum di lapangan. Hal itu senada dengan apa yang dikemukakan oleh John Austin yang memisahkan secara tegas antara hukum positif (Ius Contitutum) dengan hukum yang dicita-citakan (Ius Contiuendum). Itu sebabnya para penganut positivisme yang memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama berbeda cara pandangnya dengan hukum alam ataupun hukum progresif.
Para penganut hukum progresif melihat terdapatnya kelemahan hukum yang bertitik tumpu kepada peraturan perundang-undangan. Kelemahan tersebut juga dikemukakan oleh Bagir Manan. Menurut Bagir kelemahan-kelemahan tersebut adalah: 
(1) Peraturan perundang-undangan tidak flesibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat. 
(2) Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum.
Ketidakmampuan teks hukum dalam memenuhi kekosongan hukumtersebut akan menyebabkan hukum itu sendiri jauh dari masyarakat yang diaturnya. Menurut Talcott Parsons yang menuturkan mengenai teori konflik, ketidaksesuaian itu seolah-olah memperlihatkan sebuah pemeliharan konflik. Dalam  isu ini konflik yang terus dikembangkan adalah konflik hukum tertulis dan masyarakat yang diaturnya.
Karakteristik Hukum  Progresif
Kata progresif berasal dari progressi yang berarti adalah kemajuan. Jadi disini diharapkan hukum itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandar pada aspek moralitas dan sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.
Agenda utama hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralisasi utama perbincangan tentang hukum. Bagi hukum progresif hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Jikalau faktor kemanusiaan yang didalamnya terdapat kebenaran dan keadilan yang menjadi titik pembahasan hukum, maka faktor etika dan moral sangat perlu dalam membangun konsep hukum progresif, oleh karena itu etika dan moral akan berbicara benar dan salah atau baik dan buruk yang melekat pada diri manusia. Jika seseorang tidak memiliki etika dan moral, maka ia dengan makhluk lainnya seperti binatang.
Di dalam hukum progresif terkandung moralitas kemanusiaan yang sangat kuat. Jika etika atau moral manusia telah luntur, maka penegakan hukum tidak tercapai, sehingga membangun masyarakat untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia tidak akan terwujud. Pembangunan pondasi dari kesadaran mental ini adalah perbaikan aklak, pembinaan moral dan karakter diri masyarakat supaya menjadi masyarakat susila yang bermoral tinggi, sehingga dapat dibangun masyarakat yang damai sejahtera, masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan demikian huku progresif merubah cara berhukum dari sekedar menerapkan hukum positif secara tekstual menjadi cara berhukum dengan mendayagunakan hukum dengan tujuan, misi dan dimensi spiritual. Dalam perspektif hukum progresif maka yang terjadi dalam positivisasi hukum sebenarnya adalah perduksian makna. Dengan demikian gagasan atau usulan untuk memformalkan vexatious litigation  dalam sebuah produk legislasi sebenarnya justru membatasi atau mempersempit makna apa yang sesungguhnya benar-benar merupakan gugatan iseng, yaitu gugatan yang tujuannya hanya semata-mata untuk mengganggu pihak lawan. Apalagi proses pembuatan peraturan perundang-undangan cenderung merupakan proses politik dimana banyak muatan kepentingan yang beradu kekuatan.
Aturan formal mengenai vexatious litigation (disertai dengan sanksinya) bila diaplikasikan di lembaga peradilan dimana hakim-hakimnya juga berpandangan legal positivistik (sekedar bouche de la loi) dikhawatirkan akan memberabgus gugatan yang bersubstansi  visi bantuan hukum struktural dalam rangka memperjuangkan hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi.
Bila hakim harus membuat terobosan untuk membuat penemuan hukum yang tidak lazim dalam putusannya, yang mengabulkan gugatan eksperimental elemen masyarakat, dimana terobosan itu dalam konteks visi terwujudnya keadilan substanstif, maka jangan terburu berprasangka bahwa hakim tersebut sengaja membuat putusan kontroversi untuk menaikkanpamor.
Hakekat hukum progresif adalah pergeseran dari sistem formal ke sistem manusia. Jadi vexatious litigation yang benar-benar bersifat vexing (tidak ada visi luhurnya) memang tidak boleh dibiarkan menjadi trend dalam budaya peradilan. Namun biarkan peran manusia (hakim) secara progresif (pengetahuan, keahlian dan logika yang utuh serta ketajaman nurani) dalamm memberikan makna dibalik sebuah gugatan.
Dengan demikian karakteristik hukum progresif dapat ditandai dengan pernyataan sebagai berikut: (1) Hukum ada untuk mengabdi pada manusia 
(2) hukum progresif akan tetap hidup karena hukum selalu berada pada statusnnya sebagai law in the making dan tidak pernah bersifat final, sepanjang manusia masih ada, maka hukum progresif akan terus hidup dalam menata kehidupan masyarakat (3) dalam hukum progresif selalu mendekat etika dan moralitas kemanusiaan yang sangat kuat, yang akan memberikan  respon terhadap perkembangan dan kebutuhan manusia serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan dan kepeduliann terhadap manusia pada umumnya.

Senin, 06 Mei 2019

Sekilas Tentang Asas Legalitas



Oleh : Salim Abdurrahman 

Dalam hukum pidana, dikenal suatu asas yang yakni Asas Legalitas yang diatur dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi :



“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan pidanan yang telah ada”.


            Asas Legalitas yang lengkapnya berbunyi “nullum crimen (delictum), nulla poena sine paevia lege poenali, bersumber dari bavarian code di Jerman tahun 1813. Asas ini ditulis dan dimasukkan ke dalam Bavarian Code oleh Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach. Asas ini menggaris bawahi bahwa tiada seorang pun yang dapat dipidana tanpa ada hukum yang terlebih dahulu mengatur demikian. Asas yang merupakan ciri dari Eropa Kontinental ini merupakan lawan dari asas retroactive, yang artinya bahwa pemidanaan berlaku surut terhadap kejahatan yang belum diatur secara hukum pada saat dilakukan.


            Pada Zaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah criminal extra ordinaria, yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika hukum Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah criminal extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-raja yang berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatan yang dikatakan jahat, namun belum diatur di dalam undang-undang. Lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris (1215) merupakan salah bentuk reaksi terhadap praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase pertama ketika manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia.


            Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk melindungi hak individu, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.


            Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan kepentingan rakyat vis a vis kekuasaan raja yang absolut. Asal gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum (rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah John Locke (1760).


            Perjuangan rakyat Inggris tersebut kemudian berkembang hingga ke Perancis, sebagai bentuk perlawanan atas kesewenang-wenangan raja Louis XIV, dengan simbol Penjara Bastille sebagai simbol kekuasaan raja yang despotis. Perjuangan rakyat Perancis dipengaruhi oleh dua orang filsuf paling terkemuka Abad Pencerahan, Charles Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (17121778). Montesquieu lewat bukunya L’esprit des Lois (1748) dan bukunya Rousseau Du Contrat Social, ou principes du droit politique (1762) memperkenalkan pemikiran asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Let’s ces moi, yang didengungkan Raja Louis. Selain dipengaruhi oleh kedua filsuf tersebut perkembangan asas legalitas di Perancis juga dipengaruhi oleh Marquis de Lafayette, seorang sahabat George Washington, yang membawa pemikiran asas legalitas dari Amerika ke Perancis.


            Di Amerika, ketentuan asas legalitas sudah dicantumkan dalam Declaration of Independence 1776, di sana disebutkan tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan. Pemikiran asas legalitas kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789). Asas ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah”. Beccaria, dalam Dei delitti e drllee pene (Over misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu dibuat suatu hukum sebelum delik itu terjadi. Hukum itu harus mengatur dengan jelas dan tegas, sehingga bisa memberi petunjuk dalam menjalankan peradilan pidana.


         Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang sarjana Jerman, berpendapat bahwa merupakan suatu asas yang penting bagi pemberian ancaman hukuman di dalam hukum pidana, yaitu bahwa setiap penjatuhan hukuman oleh hakim haruslah merupakan suatu akibat hukum dari suatu ketentuan menurut undang-undang, yakni dengan maksud menjamin hak-hak yang ada pada setiap orang. Dengan demikian, maka undang-undang itu harus memberikan suatu ancaman hukuman berupa suatu penderitaan kepada setiap orang yang melakukan suatu pelanggaran hukum. Von Feuebach mengemukakan tiga ketentuan yakni :


o   Nulla Poena Sine Lege, yang artinya bahwa setiap penjatuhan hukuman haruslah didasarkan pada suatu undang-undang pidana;


o   Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan hukuman hanyalah dapat dilakukan, apabila perbuatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undangundang;


o   Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa perbuatan yang telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu apabila dilanggar dapat berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang diancamkan oleh undang-undang terhadap pelanggarannya;


Von Feuerbach kemudian merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.”Bahwa tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801).


Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian :


1.      Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang.


2.      Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.


3.      Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroactive).


Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh konstitusi Amerika Serikat tahun 1783, dicantumkan dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of attainder or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh Perancis di dalam Declaration des droits de L’homme et du citoyen 1789. Selanjutnya ketentuan ini diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental kepastian hukum dijunjung tinggi. Tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law.


Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasa. Namun, efek dari pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. E Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).



Ketentuan pidana yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut mengandung tiga buah asas yang sangat penting, yaitu :


1.      bahwa hukum pidana yang berlaku di Negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis;
2.      bahwa undang-undang pidana yang berlaku di Negara kita itu tidak dapat diberlakukan surut;
3.  bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana.


Ketentuan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP juga menyatakan bahwa undang-undang pidana yang berlaku di Negara kita tidak dapat diberlakukan surut. Apabila undang-undang pidana kita tidak dapat diberlakukan surut, maka hal tersebut sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar. Oleh Karena undang-undang pidana yang berlaku di Negara kita, baik sebagai undang-undang pidana dalam arti material, tetap merupakan suatu undang-undang. Dan sebagai undang-undang sudah sewajarnya apabila ia terikat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur perundang-undangan di Indonesia.


Ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah perundang-undangan, dapat diatur dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang telah diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23 pada tanggal 23 April 1847, yang dalam kepustakaan Belanda biasanya disingkat A.B. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia diartikan ketentuan-ketentuan umum tentang perundangundangan Indonesia.


Pasal 2 dari Algemene Bepalingen van Wetgeving menentukan bahwa : De wet verbindt alleen voor het toekomende en heft gene terugwerkende kracht artinya undang-undang itu hanyalah berkenaan dengan hal-hal yang akan datang dan tidak mempunyai kekuatan berlaku secara surut. Dari ketentuan tersebut dijelaskan bahwa suatu undang-undang pidana hanya dapat diberlakukan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan yang terlarang oleh undang-undang pidana tersebut setelah undang-undang pidana yang bersangkutan dinyatakan diberlakukan.

Jumat, 01 Maret 2019

Biang Kerok Perpecahan Rakyat Di Pilpres 2019

Oleh : Salim Abdurrahman 

Geliat perpolitikan di Indonesia menjelang Pilpres 2019 semakin memanas. Atmosfir negara Indonesia sudah tidak lagi sejuk karna lapisan-lapisa Ozon nya sudah di tembus isu-isu panas politik mulai dari kita membuka mata sampai kita tidur kembali. Bahkan banyak tali silaturahmi yang putus kalau kalau bahasa anak mudanya “selek” hanya karena memperdebatkan jagoan nya baik itu 01 ataupun 02.

Tidakkah kita merasa bosan dengan permainan politik yang di dominasi saling menjatuhkan dan menjelekkan antar paslon?
Ternyata selama ini kita tidak sadar bahwa semua keresahan kita sudah di disain sejak awal oleh para Elit politik yang ada di gedung DPR. Tidak percaya..?
Pernahkah kawan-kawan mendengar apa itu Presidential Threshold?
Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan adalah dimana partai politik harus memiliki 20 pesen kursi di DPR atau 25 persen suara sah dalam pemilu  sebelumnya. Peraturan tersebut sudah termaktub dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Inilah yang menjadi titik awal atau menjadi biang kerok tidak sehat nya perpolitikan di Indonesia. Keberadaan Presidential Threshold dilihat dari kacamata konstitusi, tidak memiliki dasar.
Dan UUD 1945 tidak pernah mengamanatkan adanya Presidential Threshold. Benar adanya bahwa partai politik dimandatkan secara konstitusional untuk mencalonkan presiden dan Wakilnya.

Namun tidak demikian halnya dengan penetapan Presidential Threshold. Apalagi jika angka Presidential Threshold ditetapkan hingga 20 persen. Ketika UU Pilpres menetapkan adanya Presidential Threshold, maka tidak semua partai politik atau gabungan partai politik berhak memajukan Calonnya sebagai presiden dan Wakil presiden.
Dalam hal ini, berarti Presidential Threshold yang dimuat dalam UU Pemilu telah melanggar hak konstitusi partai politik yang telah lolos ke DPR.
Dengan adanya Presidential Threshold maka semakin kecil peluang rakyat Indonesia menjadi Presiden maka berimbas semakin tenggelam nya para pemimpin-pemimpin terbaik bangsa karena aturan yang di buat bagi siapa yang ingin menjadi capres harus di sokong oleh partai polotik yang memiliki kursi 20 persen di DPR. Mengakibatkan semakin sedikit nya capres yang bertarung di pilpres karna tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut.


Sebut saja PDI Perjuangan sebagai Partai pemenang pemilu 2014 yang memiliki 109 kursi di DPR atau sebesar 9,5 persen, Tentu ia tidak akan menyia-nyiakan anggka besar tersebut dan berusaha membuat lawan politiknya menjadi sedikit sehingga peluang menang nya semakin besar.
Dan kita lihat kembali pada pilpres 2014 hanya ada dua pasanagn capres yaitu Prabowo-Hata dan Jokowi-Jk dan kekalahan Prabowo menjadikan ia sebagai oposisi selama 5 tahun dan kembali mencalonkan lagi di tahun 2019.
Sangat jelas bahwasanya panggung politik Capres hanya di kuasai oleh para Elit politik yang hanya ingin mewujudkan nafsu kekuasaan nya dengan cara apapun itu.

Padahal KPU menetapkan awal masa kampanye pilpres pada tanggal 23 september 2018 tetapi sesungguhnya pertarungan antara Jokowi dan Prabowo sudah di mulai 5 tahun yang lalu.
Sangat menyeramkan.
Dengan semakin lamanya peperangan politik antara Jokowi dan Prabowo maka semakin sedikit serangan yang di tembakkan ke lawan karena lamaya masa kampanye menjadikan habis nya amunisi untuk menyerang,
menyebabkan digunakan nya apa saja yang bisa menyerang kubu lawan sehingga bermunculan lah yang namnya hoax, kampanye negatif, dan kampanye hitam menyerang pribadi dari capres bisa itu latar belakang, keluarga, orang tua, bahkan harta yang di milikinya tak luput menjadi isu yang di goreng-goreng untuk menjatuhkan kubu lawan.
Inilah yang menyebabkan tidak sehat nya dunia perpolitikan di Indonesia.

Penulis teringat pada Peperangan antara Vietnam melawan Amerika Serikat pada tahun 1965.
Perang tersebut berlangsung sangat lama yaitu selama 10 tahun. Sangkin lamanya Ternyata pasukan AS kehabisan persenjataan untuk menyerang Vietnam. Hingga pada suatu ketika mereka benar-benar kehabisan bom yang akan di luncurkan melalui pesawat tempurnya, mereka memasangkan Closet (toilet duduk) yang akan di jatuhkan ke wilayah Vietnam utara sebagai pengganti Bomb.
Penulis tidak dapat membayangkan apabila closet tersebut masih berisis tinja. Sangat menjijikan bagaikan hoax dan berita bohong yang yang bertebaran setiap hari.

Senin, 11 Februari 2019

TNI KELUAR BARAK, APA KABAR REFORMASI?


Oleh : Salim Abdurrahman
Tidak dapat di pungkiri rasa takut yang menjelma menjadi trauma masih terus menghantui Rakyat Indonesia karena salah satu  kebijakan Presiden Soeharto yang sangat fenomenal pada zaman Orde baru yaitu Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Gagasan Dwi Fungsi Abri adalah dimana keikutsertaan Angkatan Perang dalam Pemerintahan yang meliputi aspek Sosial dan Politik. Dalam bebrapa contoh pelibatan Angkatan Perang dalam pemrintahan pada zaman Soeharto ialah penertiban Demo Mahasiswa dan Buruh oleh ABRI yang berujung Tewasnya sejumlah Mahasiswa dalam Demonstrasi tersebut akibat kontak langsung dengan prajurit siap tempur ABRI. 
Belum lagi hilangnya para Aktivis yang sampai detik ini belum terungkap kasusnya, tidak hanya itu terbentuknya Fraksi ABRI di DPR, pelibatan Tentara dalam Swasembada pangan serta duduknya Perwira Tinggi (Pati) dalam struktur jabatan pemerintahan yang seharusnya diisi oleh Sipil adalah buntut panjang dari Kebijkan Presiden Soeharto yang sangat kontroversial yaitu Dwi Fungsi ABRI.


Turunnya Jutaan Mahasiswa ke jalan di seluruh penjuru Negeri dengan Tuntutan yang sama yaitu Reformasi yang salah satu di dalamnya menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI, dan akhirnya perjuangan panjang tersebut berbuah manis, akhirnya Rezim Orde Baru Tumbang di tandai dengan pidato kemunduran diri Soeharto dari Jabatan Presiden Indonesia.

Setelah 21 tahun Reformasi Negeri ini Bau Aroma Menyengat dari Dwi Fungsi ABRI semakin terasa, ditandai dengan menjabatnya kapolda metro jaya Brigjen Pol M Iriawan yang awalnya Kapolda Metro Jaya yang Menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat yang pada saat itu Gubernur dan Wakil Gubernurnya mundur untuk bertarung dalam Pilkada di tahun 2018.
Padahal sudah jelas dalam UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian pada Pasal 28 Ayat 3 yang berbunyi : Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian.
Apabila merujuk pada UU No 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas UU No 30 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Adalah yang Sesuai sebagai Penjabat Gubernur ada pada Sekertaris Daerah (Sekda).


Dalam hal Tidak hanya Undang-undang saja yang di langgar  tetapi Seolah-olah Pemerintah takut akan stabilitas keamanan di daerah tersebut sehingga Mendagri Meminta  Seorang Jendral polisi sebagai Penjabat Gubernur padahal di daerah tersebut memilki Mapolda atau Markas Polisi Daerah sudah berfungsi sejak awal dan juga di dalam Konstitusi Tigas Polri sangat Spesifik yaitu meliputi Keamanan, Ketertiban, dan Penegakan Hukum.
Ditambah tudingan atas Netralitas Polri pasalnya salah satu calon wakil gubernur Anton Charliyan sebagai Mantan Kapolda Jawa Barat merupakan rekan seangkatan M Iriawan saat masih di Akpol. Ini akan menajdi isyarat kuat akan cikal bakal munculnya kembali Dwi Fungsi ABRI.

Puncaknya pada jumat (8/2/2019) melalui sambungan Live Streaming TV One Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Mayjen Sisriadi Menerangkan “Ada 150 Orang Jendral Berbintang dan 500 Orang Kolonel yang terdiri 3 Matra yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara yang saat ini sedang mengangur (tidak memiliki jabatan).”
Sebelumnya Mayjen Sisriadi mengungkapkan akan ada posisi untuk Perwira Tinngi TNI di Kementrian/Lembaga Negara yang seharusnya di isi oleh Sipil akan di gantikan oleh perwira tinggi TNI, Hal itu dipastikan melalui UU No 34 Tahun 2004 Tentang TNI yang sedang di revisi oleh TNI.