Kamis, 04 Juni 2020

RASISME AMERIKA, PAPUA, DAN AGENDA TERSELUBUNG DIDALAMNYA


 
Oleh: Salim Abdurrahman
Obby Kogoya, mahasiswa Papua, yang disiksa oleh polisi berpakaian preman di depan Asrama Mahasiswa Kamasan I Yogyakarta pada 15 Juli 2016. Obby mungkin adalah gambaran paling dekat dari George Floyd di Indonesia.

Amerika Membara dan Rasisme Sistemik: Gelombang protes dan kerusuhan di kota-kota besar Amerika sudah berlangsung enam hari. Kematian George Flyod, seorang warga kulit hitam di Minneapolis oleh polisi yang menjadi pemicunya. Dia mati tercekik oleh lutut seorang posli yang bernama Derek Chauvin.

Rasisme sangat kuat melekat dalam politik Amerika. Bahkan ada yang mengatakan bahwa rasisme adalah ‘dosa asal’ Amerika. Negara ini memang didirikan diatas dasar bahwa semua manusia diciptakan sama (all men created equal). Itu tercermin dalam Proklamasi Kemerdekaan (Decralation of Independence) Amerika. Namun, pada saat diproklamirkan, ‘men’ ini tidak ditafsirkan mencakup orang-orang berkulit hitam yang pada saat itu diperdagangkan sebagai budak.

Perbudakan menjadi bagian sejarah terpenting Amerika. Perlu ada Perang Saudara (Civil War) yang berlangsung selama lima tahun (1861-65) untuk melarang perbudakan. Namun perbudakan itu tidak hilang. Di bagian selatan Amerika, pemisahan berdasarkan ras (segregation) masih berlangsung hingga tahun 1964 saat diundangkan Civil Rights Act. Undang-undang ini melarang diskriminasi berdasarkan warna kulit. Sebelumnya, orang kulit hitam dilarang masuk fasilitas-fasilitas publik yang dikhususkan untuk orang kulit putih.

Namun diskiriminasi tidak hilang. Akibat perbudakan juga tidak hilang. Berdasarkan komposisi rasial, mayoritas orang-orang kulit hitam hidup dalam kemiskinan; secara rata-rata mereka berpendidikan rendah; sebagian besar anak-anak hanya hidup dengan orangtua tunggal (biasanya ibu dan tanpa bapak). Hampir semua indikator kemiskinan ada pada orang kulit hitam. Orang kulit hitam sangat mudah dikriminalisasi.

Bahkan orang kulit hitam yang baik-baik tidak bisa berjalan dengan tenang tanpa ditanyai oleh polisi. Brutalitas polisi terhadap orang-orang kulit hitam terjadi dengan intensitas yang tinggi. Polisi sangat mudah menargetkan orang kulit hitam. Dalam banyak kejadian, polisi dengan sangat mudah membunuh orang kuit hitam.

Kematian George Floyd seminggu yang lalu terjadi dalam konteks ini. Dia meninggal karena kebrutalan polisi setelah polisi penerima pengaduan ada orang membeli rokok dengan uang pecahan $20 palsu. Video George Floyd menghiba untuk bisa bernafas terekam oleh video yang diambil seorang warga. Perekamnya juga sempat memohon kepada polisi itu untuk melepaskan Floyd. Namun tidak dihiraukan.
Selama hampir sembilan menit polisi itu berlutut ditengkuk George Floyd yang mengakibatkan kematiannya. Video George Floyd yang tercekik diinjak oleh polisi itu kemudian tersebar. Protes dan kerusuhan terjadi di hampir semua kota besar Amerika. Mengapa protes ini menjadi sedemikian besar dan merata di seluruh Amerika? Ada beberapa faktor.

Yang pertama adalah situasi paska-pandemik. Covid-19 telah membuat sebagian besar kota-kota di Amerika ditutup. Selama dua bulan orang tidak bisa keluar rumah. Udara yang mulai menghangat juga membuat orang gatal untuk keluar.

Kedua, protes ini diarahkan kepada polisi. Sekaligus, polisi juga yang harus menangani protes-protes ini. Ini seperti menghadapkan dua pihak yang saling bermusuhan. Para pemrotes berhadapan langsung dengan pihak yang diprotes. Tidak terlalu heran bisa eskalasi kekerasan bisa terjadi dengan sangat cepat.

Ketiga, tidak ada kepemimpinan khususnya di tingkat nasional. Presiden Amerika saat ini, Donald J. Trump, adalah bukan tipe pemersatu. Dia naik ke kekuasaan dengan mengeksploitasi ketegangan dan pembelahan rasial. Dan ketika berkuasa, dia tidak menyembunyikan simpatinya kepada gerakan rasis ekstrem kanan.

Selama protes dan kerusuhan ini, Trump hanya menulis di Twitter dan tweet-nya hanya berisi hinaan kepada pemerintahan lokal yang dianggapnya tidak terlalu tegas kepada pemrotes dan perusuh. Hari Jumat malam, dia yang ketakutan harus disembunyikan dalam bunker bawah tanah karena pemrotes sangat dekat dengan kediamannya di White House.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari Amerika?

Mungkin banyak dari kita yang tidak sadar bahwa kita juga memiliki problem rasisme. Kita semua satu bangsa dan kita tidak membedakan suku atau ras dalam negara ini. Begitu kan? Salah.

Obby Kogoya, seorang mahasiswa Papua yang hendak masuk ke Asrama Papua Kamasan I di Yogyakarta pada 15 Juli 2016. Ketika itu asrama mahasiswa Papua dikepung oleh gerombolan vigilante, polisi, dan tentara. Mahasiswa didalam tidak bisa keluar. Obby datang membawakan makanan. Namun dia disiksa oleh polisi. Hidungnya dicokok, dan kepalanya diinjak. Untung Obby tidak meninggal.
Obby Kogoya kemudian ditahan. Dia diadili dan dihukum penjara 4 bulan dengan masa percobaan satu tahun. Kesalahannya? Melawan petugas kepolisian. Padahal semua bukti menunjukkan bahwa justru Obby-lah yang menjadi korban penganiayaan dan penghinaan oleh polisi.

Pelajaran lain adalah impunitas. Rasisme sistemik melahirkan impunitas baik untuk polisi dan militer. Ini adalah kartu mereka untuk bebas melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM.

Sementara, disisi yang lain, rasisme sistematik akan melahirkan krisis terus menerus. Pergolakan, pemberontakan, demonstrasi, dan kematian. Kita bisa menutup mata terhadap rasisme sistemik ini. Namun kita tidak bisa mengabaikannya sebagai sebuah kenyataan.

Namun di lain sisi di Papua terdapat sebuah yang bernama Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya, dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan bagi provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan. Sejak awal OPM telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran Bendera Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari Konflik Papua. Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan lambang negara.

Terakhir OPM kembali membuat resah masyarakat. Mereka menembak dan memutilasi petani kebun yang merupakan warga asli Papua. Korban bernama Yunus Sani 40 tahun, pada Jumat tanggal 29 Mei 2020, di Kampung Megataga, Distrik Wandai, Kabupaten Intan Jaya.

Keterangan tersebut didapatkan Niko Wakey, yang merupakan seorang Pastur Gereja Mbegulo. Di mana kejadian bermula ketika Niko sedang mengantar anaknya dari Enarotali ke Kampung Mbegulo. Namun, di tengah perjalanan di Kampung Megataga, Distrik Wandai terdengar bunyi tembakan kurang lebih sebanyak 8 kali.

Pemisahan papua dari NKRI adalah sebuah kekeliruan berfikir yang dimana negara kita adalah negara hukum pada amanat Konstitusi UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia Adalah Negara Hukum.” Bila mana gesekan antar masyarakat baik itu sekaliber kasus rasispun tidak dapat dijadikan alasan untuk papua berpisahn dari Indonesia.

Memang dalam Sila ke-dua “Kemanusiaan Yang Adli Dan Beradab” belum sepenuhnya terimplementasikan dengan baik dengan adanya Rasisme terhadap rakyat Papua namun tidak daoat dijadikan alasan kita mengorbankan Sila ke-tiga yaitu “persatuan Indonesia” sebab seperti kata pepatah, apbila kuku yang panjang jangan tangan yang di potong.

Oleh karna itu kita harus belajar sejarah pemberontakan GAM (Gerekan Aceh Merdeka) di aceh, yang dimana permasalahan tersebut dapat diselesiakan dengan baik melalui jalur diplomasi, ditambah lagi pemerintah indoneisa menganulir beberapa permintaan rakyat aceh seperti otonomi daerha khusus, sistem hukum khusus, dan Partai khsusus Aceh yang tampil dengan gagah disetiap pemilu nasional.

Maka keistimewaan tersebut juga harus kita berikan juga pada papua, jangan kita hanya memanfaatkan hasil bumi berupa SDA yang sangat kaya namun kita mendeskriditkan rakyat Papua yang menjadikan isu rasisme semakin mendarah daging dan memicu mereka untuk melepaskan diri dari bumi Ibu Pertiwi yang kita cintai ini.

*PENULIS ADALAH KADER HMI FSH UINSU MEDAN