Sabtu, 31 Agustus 2019

Progresifisme Hukum, Jalan Keluar Dari Kehancuran Hukum Di Indonesia


 
Oleh : Salim Abdurrahman

 Hukum adalah untuk Manusia, Bukan Sebaliknya  yaitu Manusia yang Hadir untuk Hukum dan Hukum Hadir Bukanlah untuk Dirinya” (Satjipto Rahardjo)
Hukum progresif lahir dari rasa ketidakpuasaan kalangan hukum terhadap teori dan praktik huku tradisional yang berkembang. Para penganutnya mengkritisi terhadap begitu besarnya “jurang pemisah” antara hukum yang di praktikkan dengan teori hukum. Hukum dianggap gagal dalam merespon setiap masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Penganut paham hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memunginkan masyarakat memetahankan ketertiban dan kebebasannya. Oleh sebab itu hukum haruslah netral agar dapat diterapkan kepada siapa saja tanpa memerhatikan perbedaan apapun untuk menghindari diskriminasi. Namun pada kenyataannya poin penting dari pemberlakuan hukum dari kacamata tradisional tersebut tidak bisa dilaksanakan secara konsekuensi. Menurut teoritis postmodern bahwa hukum tidak mempunyai dasar objektif dan tidak ada kebenaran sebagai tempat untuk berpijak hukum, yang ada hanya kekuasaan semata yang menjadi alat kekuasaan bagi penguasa.
Kecurigaan postmodern didasari keyakinan bahwa yang menjadi barometer huku bukanlah salah dan benar, bermoral atau tidak bermoral saja, melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok masyarakat mayoritas. Hukum harus ditafsirkan yang nyatanya akan ditafsirkan menurut keinginan yang menafsirnya, dan penafsir akan menafsirkan sesuai dengan perasaan dan kepentingan sendiri, sehingga yang namanya keadilan hanya semboyan dan retorika yang digunakan sekelompok mayoritas untuk menjelaskan apa apa yang mereka inginkan dan keinginan pihak minoritas tidak pernah menjadi penafsiran hukum dan akan selalu menjadi bulan-bulanan hukum. Untuk itu sudah seharusnya sektor hukum lebih diberdayakan agar pembangunan masyarakat dan bangsa dapat dilaksanakan atau bahwa dapat dipercepat, sebagaimana pendapat Roscoe Pond bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial ( law as tool of development) sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja.
Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat kearah kehidupan yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam artian kaidah atau pearturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan dari kaidah hukum dalam praktik hukum, yaitu adanya jaminan penegakan hukum yang baik. Sudah sering terdengar pradok-pradok yang ditujukan kepada aparat penegakan hukum terutama hakim sebagai pemutus suatu perkara, mengenai putusan pembebasan para koruptor penjarah uang rakyat yang berjumlah banyak, yang dibebaskan oleh hakim. Tidak jarang pula tuduhan yang menyudutkan aparat penegak hukum yang dianggap mempersulit orang “kebanyakan” untuk mendapatkan keadilan dalam persidangan, selain bukti-bukti yag cukup kuat yang dimiliki olehhnya. Masih banyak lagi persoalan yang menyebabkan semakin terpuruknya hukum saat ini.
Seiring dengan berkembangnya pemikiran mengenai keadilan subtantif juga perkembangan hukum progresif (sosiologi hukum tidak terlepas dari rentetan sejarah perkembangan teori dan sistem hukum yang ada di dunia. Seperti perkembangan hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didomminasi oleh alam pemikiran positivistik sehingga menghasilkan doktrin Rule of Law yang bercirikan: (1) Formal rules :Tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan; (2) Procedures :Dilaksanakan melalui aturan main yag ketat; (3) Methodologist :Mendewakan logika dalam penerapannya; (4) Bureaucreacy :Hanya lembaga-lembaga formal yang diakui memiliki  otoritas untuk membuat, melaksanakan dan mengawasi hukum (legislatif, eksekutif dan yudikatif).
Cara berhukum yang terfokus kepada teks undang-undang telah menjadi ciri khas dari sistem hukum modern atau  (tekstual apporoach). Akibat cara berhukum positivistik tersebut maka upaya mewujudkan keadilan yang substantive terancam. Khususnya bagi pihak yang lemah dan termarginalkan. Sistem hukum modern yang bersandarkan kepada semangat liberal dan kapitalisme jelas hanya menguntungkan pihak yang kuat, bagi secara ekonomi maupun politik. Oleh karenanya untuk terlepas dari belenggu formalism-positivisme diperlukan cara berhukum baru agar hukum mampu menangkap hakikat dan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Oleh karena itu berkembangnya pemikiran hukum secara progresif adalah tidak terlepas dari perkembangan mengenai sosiologi hukum. Sosiologi hukum untuk lebih jelasnya adalah sosiologi dari atau tentang hukum. Oleh karena itu apabila berbicara denngan perilaku sosial, maka ini berhubungan dengan hukum yang berlaku. Dengan kata lain sosiologi hukum memperlihatkan verifikasi empiris dan validitas dari hukum yang berlaku. Dengan demikian teori-teori dalam sosiologi hukum juga bergerak pada jalur tersebut.
Menurut Satjipto Rahardjo, sosiologi hukum memiliki basis intelektual dari paham hukum alam (lex naturalist), itu sebabnya cairan paham sosiologi hukum adalah untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan manusia dengan lingkungannya. Filosofis dari teori hukum alam kesatuan dengan kondisi lingkungan. Karena itu, kalangan sosiologi hukum selalu mengaitkan aturan hukum dengan kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Bahkan terbentuknya sebuah negara berdasarkan teori du contact social yang populerkan oleh  J.J Rosseau pun diakui sebagai kajian sosiologi hukum, bahkan ketika manusia masih dalam kelompok-kelompok kecil dalam “alam liar”.
Perkembangan hukum progresif tidak lepas dari perkembangan tatanan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Nonet dan Selzink yaitu: pertama, tatanan hukum yang represif, dimana hukum disubornasikan dibawah tatanan politik dan tatanan ekonomi, yang kedua, tatanan hukum yag otonom/mandiri, dimana hukum yang berkedudukan setara (koordinatif) dengan tatanan politik, tatanan ekonomi dan sosiao budaya, sedangkan yang ketiga, tatanan hukum yang responsif, dimana hukum berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada kebutuhan sosial dari suatu masyarakat.
Teori yang Memengaruhi Progresifitas Hukum
Adagium hukum yang berbunyi “ubi societas ibi ius” (dimana ada masyarakat disitu ada hukum) adalah sebuah asas yang mendasar dalam dunia hukum. Asa tersebut menyiratkan bahwa masalah tidak akan dapat hidup tanpa adanya suatu tatanan atau keteraturan (hukum). Terminologi hukum tersebut tentu harus dimaknai secara luas, tidak hanya sebuah aturan tertulis saja (undang-undang), tetapi juga hukum yang telah lahir jauh sebelum adanya hukum tertulis, ataupun suatu pegangan ataupun nilai-nilai yang berkembang didalam masyarakat dan telah mengatur suatu tatanan kehidupan suatu masyarakat itu.
Emmanuel Kant mendefinisikan makna hukum sebagai keseluruhan kondisi-kondisi dimana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi orang lain, sesuai dengan hukum-hukum tentang kemerdekaan. Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa hukum dan masyarakat merupakan bangunan yang terus berkembang dan tidak terjebak kepada bentuk normatif yang mati rasa. Pandangan hukum yang terus perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat sesungguhnya telah dimulai oleh penganut hukum alam, sebagaimana dikatakan oleh satjipto; ”Teori hukum alam selalu menuntun kembali sekalian wacana dan institusi hukum kepada basisnya yang asli, yaitu dunia manusia dan masyarakat. Kebenaran hukum tidak dapat dimonopoli atas nama otoritas pembuatnya, seperti pada aliran positivisme, melainkan kepada asalnya yang otentik. Norma hukum alam, kalau boleh disebut demikian, berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan cita-cita keadilan yang wujudnya berubah-ubah dari masa ke masa".
Hukum alam berupaya menemukan antara hukum yang dikehendaki dengan praktik hukum di lapangan. Hal itu senada dengan apa yang dikemukakan oleh John Austin yang memisahkan secara tegas antara hukum positif (Ius Contitutum) dengan hukum yang dicita-citakan (Ius Contiuendum). Itu sebabnya para penganut positivisme yang memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama berbeda cara pandangnya dengan hukum alam ataupun hukum progresif.
Para penganut hukum progresif melihat terdapatnya kelemahan hukum yang bertitik tumpu kepada peraturan perundang-undangan. Kelemahan tersebut juga dikemukakan oleh Bagir Manan. Menurut Bagir kelemahan-kelemahan tersebut adalah: 
(1) Peraturan perundang-undangan tidak flesibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat. 
(2) Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum.
Ketidakmampuan teks hukum dalam memenuhi kekosongan hukumtersebut akan menyebabkan hukum itu sendiri jauh dari masyarakat yang diaturnya. Menurut Talcott Parsons yang menuturkan mengenai teori konflik, ketidaksesuaian itu seolah-olah memperlihatkan sebuah pemeliharan konflik. Dalam  isu ini konflik yang terus dikembangkan adalah konflik hukum tertulis dan masyarakat yang diaturnya.
Karakteristik Hukum  Progresif
Kata progresif berasal dari progressi yang berarti adalah kemajuan. Jadi disini diharapkan hukum itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandar pada aspek moralitas dan sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.
Agenda utama hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralisasi utama perbincangan tentang hukum. Bagi hukum progresif hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Jikalau faktor kemanusiaan yang didalamnya terdapat kebenaran dan keadilan yang menjadi titik pembahasan hukum, maka faktor etika dan moral sangat perlu dalam membangun konsep hukum progresif, oleh karena itu etika dan moral akan berbicara benar dan salah atau baik dan buruk yang melekat pada diri manusia. Jika seseorang tidak memiliki etika dan moral, maka ia dengan makhluk lainnya seperti binatang.
Di dalam hukum progresif terkandung moralitas kemanusiaan yang sangat kuat. Jika etika atau moral manusia telah luntur, maka penegakan hukum tidak tercapai, sehingga membangun masyarakat untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia tidak akan terwujud. Pembangunan pondasi dari kesadaran mental ini adalah perbaikan aklak, pembinaan moral dan karakter diri masyarakat supaya menjadi masyarakat susila yang bermoral tinggi, sehingga dapat dibangun masyarakat yang damai sejahtera, masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan demikian huku progresif merubah cara berhukum dari sekedar menerapkan hukum positif secara tekstual menjadi cara berhukum dengan mendayagunakan hukum dengan tujuan, misi dan dimensi spiritual. Dalam perspektif hukum progresif maka yang terjadi dalam positivisasi hukum sebenarnya adalah perduksian makna. Dengan demikian gagasan atau usulan untuk memformalkan vexatious litigation  dalam sebuah produk legislasi sebenarnya justru membatasi atau mempersempit makna apa yang sesungguhnya benar-benar merupakan gugatan iseng, yaitu gugatan yang tujuannya hanya semata-mata untuk mengganggu pihak lawan. Apalagi proses pembuatan peraturan perundang-undangan cenderung merupakan proses politik dimana banyak muatan kepentingan yang beradu kekuatan.
Aturan formal mengenai vexatious litigation (disertai dengan sanksinya) bila diaplikasikan di lembaga peradilan dimana hakim-hakimnya juga berpandangan legal positivistik (sekedar bouche de la loi) dikhawatirkan akan memberabgus gugatan yang bersubstansi  visi bantuan hukum struktural dalam rangka memperjuangkan hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi.
Bila hakim harus membuat terobosan untuk membuat penemuan hukum yang tidak lazim dalam putusannya, yang mengabulkan gugatan eksperimental elemen masyarakat, dimana terobosan itu dalam konteks visi terwujudnya keadilan substanstif, maka jangan terburu berprasangka bahwa hakim tersebut sengaja membuat putusan kontroversi untuk menaikkanpamor.
Hakekat hukum progresif adalah pergeseran dari sistem formal ke sistem manusia. Jadi vexatious litigation yang benar-benar bersifat vexing (tidak ada visi luhurnya) memang tidak boleh dibiarkan menjadi trend dalam budaya peradilan. Namun biarkan peran manusia (hakim) secara progresif (pengetahuan, keahlian dan logika yang utuh serta ketajaman nurani) dalamm memberikan makna dibalik sebuah gugatan.
Dengan demikian karakteristik hukum progresif dapat ditandai dengan pernyataan sebagai berikut: (1) Hukum ada untuk mengabdi pada manusia 
(2) hukum progresif akan tetap hidup karena hukum selalu berada pada statusnnya sebagai law in the making dan tidak pernah bersifat final, sepanjang manusia masih ada, maka hukum progresif akan terus hidup dalam menata kehidupan masyarakat (3) dalam hukum progresif selalu mendekat etika dan moralitas kemanusiaan yang sangat kuat, yang akan memberikan  respon terhadap perkembangan dan kebutuhan manusia serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan dan kepeduliann terhadap manusia pada umumnya.