Oleh: Salim Abdurrahman
Obby Kogoya, mahasiswa Papua,
yang disiksa oleh polisi berpakaian preman di depan Asrama Mahasiswa Kamasan I
Yogyakarta pada 15 Juli 2016. Obby mungkin adalah gambaran paling dekat dari
George Floyd di Indonesia.
Amerika Membara dan Rasisme
Sistemik: Gelombang protes dan kerusuhan di kota-kota besar Amerika sudah
berlangsung enam hari. Kematian George Flyod, seorang warga kulit hitam di
Minneapolis oleh polisi yang menjadi pemicunya. Dia mati tercekik oleh lutut
seorang posli yang bernama Derek Chauvin.
Rasisme sangat kuat melekat
dalam politik Amerika. Bahkan ada yang mengatakan bahwa rasisme adalah ‘dosa
asal’ Amerika. Negara ini memang didirikan diatas dasar bahwa semua manusia
diciptakan sama (all men created equal). Itu tercermin dalam Proklamasi
Kemerdekaan (Decralation of Independence) Amerika. Namun, pada saat
diproklamirkan, ‘men’ ini tidak ditafsirkan mencakup orang-orang berkulit hitam
yang pada saat itu diperdagangkan sebagai budak.
Perbudakan menjadi bagian
sejarah terpenting Amerika. Perlu ada Perang Saudara (Civil War) yang
berlangsung selama lima tahun (1861-65) untuk melarang perbudakan. Namun
perbudakan itu tidak hilang. Di bagian selatan Amerika, pemisahan berdasarkan
ras (segregation) masih berlangsung hingga tahun 1964 saat diundangkan Civil
Rights Act. Undang-undang ini melarang diskriminasi berdasarkan warna kulit.
Sebelumnya, orang kulit hitam dilarang masuk fasilitas-fasilitas publik yang
dikhususkan untuk orang kulit putih.
Namun diskiriminasi tidak
hilang. Akibat perbudakan juga tidak hilang. Berdasarkan komposisi rasial,
mayoritas orang-orang kulit hitam hidup dalam kemiskinan; secara rata-rata
mereka berpendidikan rendah; sebagian besar anak-anak hanya hidup dengan
orangtua tunggal (biasanya ibu dan tanpa bapak). Hampir semua indikator
kemiskinan ada pada orang kulit hitam. Orang kulit hitam sangat mudah
dikriminalisasi.
Bahkan orang kulit hitam yang
baik-baik tidak bisa berjalan dengan tenang tanpa ditanyai oleh polisi.
Brutalitas polisi terhadap orang-orang kulit hitam terjadi dengan intensitas
yang tinggi. Polisi sangat mudah menargetkan orang kulit hitam. Dalam banyak kejadian,
polisi dengan sangat mudah membunuh orang kuit hitam.
Kematian George Floyd seminggu
yang lalu terjadi dalam konteks ini. Dia meninggal karena kebrutalan polisi
setelah polisi penerima pengaduan ada orang membeli rokok dengan uang pecahan
$20 palsu. Video George Floyd menghiba untuk bisa bernafas terekam oleh video
yang diambil seorang warga. Perekamnya juga sempat memohon kepada polisi itu
untuk melepaskan Floyd. Namun tidak dihiraukan.
Selama hampir sembilan menit
polisi itu berlutut ditengkuk George Floyd yang mengakibatkan kematiannya.
Video George Floyd yang tercekik diinjak oleh polisi itu kemudian tersebar.
Protes dan kerusuhan terjadi di hampir semua kota besar Amerika. Mengapa protes
ini menjadi sedemikian besar dan merata di seluruh Amerika? Ada beberapa
faktor.
Yang pertama adalah situasi
paska-pandemik. Covid-19 telah membuat sebagian besar kota-kota di Amerika
ditutup. Selama dua bulan orang tidak bisa keluar rumah. Udara yang mulai
menghangat juga membuat orang gatal untuk keluar.
Kedua, protes ini diarahkan
kepada polisi. Sekaligus, polisi juga yang harus menangani protes-protes ini.
Ini seperti menghadapkan dua pihak yang saling bermusuhan. Para pemrotes
berhadapan langsung dengan pihak yang diprotes. Tidak terlalu heran bisa
eskalasi kekerasan bisa terjadi dengan sangat cepat.
Ketiga, tidak ada kepemimpinan
khususnya di tingkat nasional. Presiden Amerika saat ini, Donald J. Trump,
adalah bukan tipe pemersatu. Dia naik ke kekuasaan dengan mengeksploitasi
ketegangan dan pembelahan rasial. Dan ketika berkuasa, dia tidak menyembunyikan
simpatinya kepada gerakan rasis ekstrem kanan.
Selama protes dan kerusuhan ini,
Trump hanya menulis di Twitter dan tweet-nya hanya berisi hinaan kepada
pemerintahan lokal yang dianggapnya tidak terlalu tegas kepada pemrotes dan
perusuh. Hari Jumat malam, dia yang ketakutan harus disembunyikan dalam bunker
bawah tanah karena pemrotes sangat dekat dengan kediamannya di White House.
Pelajaran apa yang bisa kita
petik dari Amerika?
Mungkin banyak dari kita yang
tidak sadar bahwa kita juga memiliki problem rasisme. Kita semua satu bangsa
dan kita tidak membedakan suku atau ras dalam negara ini. Begitu kan? Salah.
Obby Kogoya, seorang mahasiswa Papua yang hendak masuk ke Asrama Papua Kamasan
I di Yogyakarta pada 15 Juli 2016. Ketika itu asrama mahasiswa Papua dikepung
oleh gerombolan vigilante, polisi, dan tentara. Mahasiswa didalam tidak bisa
keluar. Obby datang membawakan makanan. Namun dia disiksa oleh polisi.
Hidungnya dicokok, dan kepalanya diinjak. Untung Obby tidak meninggal.
Obby Kogoya kemudian ditahan.
Dia diadili dan dihukum penjara 4 bulan dengan masa percobaan satu tahun.
Kesalahannya? Melawan petugas kepolisian. Padahal semua bukti menunjukkan bahwa
justru Obby-lah yang menjadi korban penganiayaan dan penghinaan oleh polisi.
Pelajaran lain adalah impunitas.
Rasisme sistemik melahirkan impunitas baik untuk polisi dan militer. Ini adalah
kartu mereka untuk bebas melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM.
Sementara, disisi yang lain,
rasisme sistematik akan melahirkan krisis terus menerus. Pergolakan,
pemberontakan, demonstrasi, dan kematian. Kita bisa menutup mata terhadap
rasisme sistemik ini. Namun kita tidak bisa mengabaikannya sebagai sebuah
kenyataan.
Namun
di lain sisi di Papua terdapat sebuah yang bernama Organisasi Papua Merdeka
(disingkat OPM) adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk
mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di
Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian
Jaya, dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Gerakan
ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan bagi
provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan. Sejak awal OPM telah
menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran Bendera
Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari Konflik Papua.
Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari
kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan lambang negara.
Terakhir
OPM kembali membuat resah masyarakat. Mereka menembak dan memutilasi petani
kebun yang merupakan warga asli Papua. Korban bernama Yunus Sani 40 tahun, pada
Jumat tanggal 29 Mei 2020, di Kampung Megataga, Distrik Wandai, Kabupaten Intan
Jaya.
Keterangan
tersebut didapatkan Niko Wakey, yang merupakan seorang Pastur Gereja Mbegulo.
Di mana kejadian bermula ketika Niko sedang mengantar anaknya dari Enarotali ke
Kampung Mbegulo. Namun, di tengah perjalanan di Kampung Megataga, Distrik
Wandai terdengar bunyi tembakan kurang lebih sebanyak 8 kali.
Pemisahan
papua dari NKRI adalah sebuah kekeliruan berfikir yang dimana negara kita
adalah negara hukum pada amanat Konstitusi UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)
“Negara Indonesia Adalah Negara Hukum.” Bila mana gesekan antar masyarakat baik
itu sekaliber kasus rasispun tidak dapat dijadikan alasan untuk papua berpisahn
dari Indonesia.
Memang
dalam Sila ke-dua “Kemanusiaan Yang Adli Dan Beradab” belum sepenuhnya
terimplementasikan dengan baik dengan adanya Rasisme terhadap rakyat Papua
namun tidak daoat dijadikan alasan kita mengorbankan Sila ke-tiga yaitu “persatuan
Indonesia” sebab seperti kata pepatah, apbila kuku yang panjang jangan tangan
yang di potong.
Oleh
karna itu kita harus belajar sejarah pemberontakan GAM (Gerekan Aceh Merdeka)
di aceh, yang dimana permasalahan tersebut dapat diselesiakan dengan baik
melalui jalur diplomasi, ditambah lagi pemerintah indoneisa menganulir beberapa
permintaan rakyat aceh seperti otonomi daerha khusus, sistem hukum khusus, dan
Partai khsusus Aceh yang tampil dengan gagah disetiap pemilu nasional.
Maka
keistimewaan tersebut juga harus kita berikan juga pada papua, jangan kita
hanya memanfaatkan hasil bumi berupa SDA yang sangat kaya namun kita
mendeskriditkan rakyat Papua yang menjadikan isu rasisme semakin mendarah
daging dan memicu mereka untuk melepaskan diri dari bumi Ibu Pertiwi yang kita
cintai ini.
*PENULIS ADALAH KADER HMI FSH UINSU
MEDAN